Jumat, 25 November 2011

Arti Penting Sebuah Kejujuran

Memang susah di zaman sekarang menemui orang yang memiliki omongan,tingkah laku yang sesuai dengan kata hati masing-masing.Lalu bagaimana agar kita tak mudah tertipu dengan orang-orang yang demikian ? Dan apakah kita harus merasakan satu persatu perasaan orang lain agar tidak adanya rasa kemunafikkan ? Untuk mencegah hal tersebut sifat kejujuran dapat ditumbuhkan dari dalam diri sendiri dengan memahami apa arti sebuah kejujuran itu sendiri.

Arti jujur

Jujur jika diartikan secara baku adalah "mengakui, berkata atau memberikan suatu informasi yang sesuai kenyataan dan kebenaran". Dalam praktek dan penerapannya, secara hukum tingkat kejujuran seseorang biasanya dinilai dari ketepatan pengakuan atau apa yang dibicarakan seseorang dengan kebenaran dan kenyataan yang terjadi. Bila berpatokan pada arti kata yang baku dan harafiah maka jika seseorang berkata tidak sesuai dengan kebenaran dan kenyataan atau tidak mengakui suatu hal sesuai yang sebenarnya, orang tersebut sudah dapat dianggap atau dinilai tidak jujur, menipu, mungkir, berbohong, munafik atau lainnya.

KEJUJURAN adalah tanda bukti keimanan. Orang mukmin pasti jujur. Kalau tidak jujur, keimanannya sedang diserang penyakit munafik.
Suatu ketika seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah SAW: “Apakah mungkin seorang mukmin itu kedekut?”
Baginda menjawab: “Mungkin saja.” Sahabat bertanya lagi: “Apakah mungkin seorang mukmin bersifat pengecut?” Rasulullah SAW menjawab: “Mungkin saja.” Sahabat bertanya lagi: “Apakah mungkin seorang mukmin berdusta?” Rasulullah SAW menjawab: “Tidak.” (HR Imam Malik dalam kitab Al-Muwaththa’)
Apa yang boleh dipelajari daripada hadis ini ialah seorang mukmin tidak mungkin melakukan pembohongan.
Kejujuran adalah pangkal semua perbuatan baik manusia. Tidak ada perbuatan dan ucapan baik kecuali kejujuran.
Oleh sebab itu, Allah menyuruh orang-orang mukmin agar selalu berkata benar dan berlaku jujur. Ini diperintah oleh Allah melalui firman-Nya yang bermaksud:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang jujur dan benar. (al-Ahzab: 70)
Rasulullah SAW bersabda:
“Kamu semua wajib bersikap jujur kerana kejujuran akan membawa kepada kebaikan dan kebaikan akan membawa kepada syurga”. (HR Ahmad, Muslim, at-Tirmizi, Ibnu Hibban)
Kejujuranlah yang menjadikan Ka’b bin Malik mendapat keampunan langsung dari langit sebagaimana Allah jelaskan dalam surah at-Taubah. Kejujuranlah yang menyelamatkan bahtera kebahagiaan keluarga dan kejujuran pulalah yang menyelamatkan seorang Muslim daripada seksa api neraka di kemudian hari.
Kejujuran adalah tiang agama, sendi akhlak, dan pokok kemanusiaan manusia. Tanpa kejujuran, agama tidak lengkap, akhlak tidak sempurna, dan seorang manusia tidak sempurna menjadi manusia.
Di sinilah pentingnya kejujuran bagi kehidupan. Rasulullah SAW bersabda:
“Tetap berpegang eratlah pada kejujuran. Walau kamu seakan-akan melihat kehancuran dalam berpegang teguh pada kejujuran, tapi yakinlah bahwa di dalam kejujuran itu terdapat keselamatan.” (HR Abu Dunya)
Ada tiga tingkatan kejujuran :
  • Pertama, kejujuran dalam ucapan, iaitu kesesuaian ucapan dengan realiti.
  • Kedua, kejujuran dalam perbuatan, iaitu kesesuaian antara ucapan dan perbuatan.
  • Ketiga, kejujuran dalam niat, iaitu kejujuran tertinggi di mana ucapan dan perbuatan semuanya hanya untuk Allah.
Seorang mukmin tidak cukup hanya jujur dalam ucapan dan perbuatan, tapi harus jujur dalam niat sehingga semua ucapan, perbuatan, tindakan dan keputusan harus berlandaskan mencari keredaan Allah.
Jelaslah kejujuran memainkan peranan penting dalam kehidupan seorang Islam yang ingin mencari kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Seorang yang jujur tidak akan berdolak-dalik apatah lagi bermain kata-kata apabila berhadapan dengan sesuatu perkara.
Jika dia berada di pihak yang benar sudah pasti dia tidak akan takut untuk menzahirkan kejujuran atas keyakinan bahawa kebenaran pasti mengalahkan kebatilan.
Kejujuran inilah yang mendorong Umar Ibnul-Khattab memiliki tanggung jawab luar biasa dalam memerintah khilafah Islamiyah sehingga pernah berkata, “Seandainya ada seekor keledai terperosok di Baghdad (padahal beliau berada di Madinah), pasti Umar akan ditanya kelak: “Mengapa tidak kau ratakan jalan untuknya?”
Bangsa yang tak henti-hentinya diterpa musibah dan krisis sangat memerlukan manusia-manusia jujur, baik dalam ucapan, perbuatan, mahupun niat.


Bagaimana bersikap jujur

Selain pertanyaan - pertanyaan diatas, selanjutnya dalam benak saya timbul pertanyaan: " Bagaimanakah kejujuran itu dapat dipraktekkan dalam sehari-hari, serta bagaimanakah sikap kita ?

  • Apakah kita sama sekali tidak boleh berbohong?
  • Dan mungkinkah kita selalu jujur dalam kehidupan sehari-hari ini?
  • Ataukah masih ada toleransi bagi kita untuk berbohong dalam hal-hal tertentu atau demi kepentingan tertentu?
Nah, sekali lagi saya mengajak para pembaca untuk merenungkannya bersama!